Semua Murid, Semua Guru
Weekend libur? Ya belajar!
Pada Sabtu, 31 Agustus 2024 para guru SMA St. Kristoforus II mengisi akhir pekan dengan mengikuti pelatihan literasi-numerasi dan pendidikan berdiferensiasi. Kegiatan ini dipandu oleh Bpk. Benediktus Yonas, S.Fil dengan narasumber utama Bpk. Foy Ario, M.Pd. Pak Foy, demikian beliau disapa, adalah penulis soal AKM Literasi, penuli, dan kurator berbagai buku siswa yang berkaitan dengan Bahasa Indonesia.
Kegiatan ini berlangsung selama tiga jam di Aula SMA St. Kristoforus II. Beberapa hal menarik terjadi. Misalnya, pak Foy yang mengajak semua guru untuk menari dan menyanyi bersama lagu “Semua Murid, Semua Guru”. Pak Foy juga mengajak para guru berlatih membuat soal pilihan ganda kompleks.
Guru diberi kesempatan untuk mengerjakan beberapa contoh soal literasi, hal yang menarik karena umumnya tipe soal tersebut hanya akrab bagi para guru ilmu bahasa dan sains. Namun kecakapan literasi bukan hanya eksklusif milik bahasa Indonesia. Literasi adalah kemampuan dasar seorang manusia.
Dengan kemampuan literasi dan numerasi yang mumpuni, seseorang akan mampu memahami materi (konten) dan meraih makna penting (substansi). Dengan memiliki dua kemampuan ini, diharapkan seseorang dapat mencapai kecakapan belajar dan berinovasi, kecakapan menggunakan teknologi informasi, dan kecakapan hidup untuk bekerja dan berkontribusi di masyarakat. Tiga hal tersebut adalah syarat mutlak bertahan hidup di abad 21 ini.
Tentu saja seringkali asesmen nasional dianggap sebagai momok di sekolah. Asesmen nasional seringkali disalahartikan dengan sebagai usaha menghakimi sekolah, padahal asesmen ditujukan untuk perbaikan kegiatan belajar-mengajar. Dalam menjawab survey lingkungan belajar, tentu saja ada konflik batin dari setiap peserta. Pertanyaan utamanya adalah bukan tentang nilai asesmennya, melainkan apakah peserta akan memilih jawaban jujur atau dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak?
Perihal nilai itu sendiri seringkali malah menjadi hambatan bagi proses belajar-mengajar. Peserta didik dituntut untuk belajar seperti mesin meraih hasil yang secara seragam mencapai poin maksimal. Padahal setiap siswa memiliki keunikannya tersendiri. Inilah pentingnya pembelajaran yang terdiferensiasi; pembelajaran yang memperhatikan keunikan dan kebutuhan para peserta didik. “Yang hampir hilang dari sekolah adalah empati,” kata pak Foy, “Anak dituntut untuk mendapatkan nilai, padahal yang penting adalah mengerti dan memahami.” (timediasmaxto2)