Pemilu merupakan singkatan dari Pemilihan Umum. Pemilu adalah proses demokratis yang digunakan di banyak negara di seluruh dunia untuk memilih para pemimpin pemerintahan dan mewakili warga negara dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Sebagai negara demokrasi, Pemilu 2024 bagi Indonesia adalah Pemilu ke-6 dalam orde Reformasi.

Pada Rabu, 14 Februari 2024, rakyat Indonesia mengikuti pemilu. Bagi beberapa orang ini adalah hal yang mudah karena sudah terbiasa berpartisipasi dalam event lima tahunan tersebut. Namun bagaimana dengan mereka yang pertama kali mengikuti pesta demokrasi tersebut?

Dalam tulisan ini kita akan mendapatkan kesaksian beberapa siswa/i SMA St. Kristoforus 2 berkaitan pengalaman pertama mereka mengikuti Pemilu. Bagi beberapa siswa/i, pemilu adalah event yang ditunggu-tunggu. Enjelika, salah seorang peserta didik kelas XI IPS-1 menuturkan bahwa ia sangat tidak sabar dengan pemilu. Saking tidak sabarnya ia sampai gugup saat melakukan pemilu. “Saya deg-degan pak”, katanya. “Saya panik kok kertasnya bisa besar sekali”. Pengalaman senada rupanya juga dialami oleh Bungaria Munthe, salah seorang siswi kelas XI IPA-3 yang juga jago dance. “Duh pak, saya bingung gimana cara melipat kertasnya. Lama banget sampai-sampai dimarahin pak RT” ungkapnya. “Ya mau gimana lagi ya pak, kan kita ga pernah diajarin di lingkungan? Coba sosialisasi gitu kek. Pilkatos (Pemilihan Ketua Osis) kemarin perasaan kertasnya Cuma seperempat HVS”, imbuhnya.

Ada juga siswa yang memilih untuk tidak terlibat dalam pemilu alias golput. “Saya tidak tahu mereka (paslon), lagipula saya tidak tertarik dengan politik”, kata Jocelyn, seorang siswi kelas XI IPS-3, ketika ditanya alasannya memilih golput. Tentu saja keputusannya ini patut disayangkan.

Rupanya pendidikan politik di lingkungan masyarakat masih belum merata. Padahal hal ini seharusnya merupakan pengetahuan dasar tentang pentingnya ruang khusus untuk menentukan nasib bangsa kedepannya (sekurang-kurangnya lima tahun berikutnya). Menurut hematnya, mungkin kekurangan ini bisa diatasi oleh pihak sekolah. Apalagi pendidikan memiliki tanggung jawab moral mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun hal ini bukan berarti semua remaja dan kaum muda buta tentang politik. Ada juga peserta didik yang melakukan persiapan khusus menghadapi Pemilu. Verlita, salah satu anggota tim basket puteri SMA Santo Kristoforus 2 dan sekarang duduk di kelas XII IPS-3 adalah salah satu dari pemilih pemula yang cukup paham tentang Pemilu. Ia sudah melakukan pengamatan tentang beberapa paslon yang ada. “Saya nonton dan cari tahu tentang calon presiden pak”, ungkapnya. “Saya akhirnya memutuskan memilih salah satu paslon. Ya… asal bukan yang itu (disensor)lanjutnya.

Siasat Verlita dalam menghadapi pemilu legislatif juga cukup unik. Ia melakukan riset sederhana tentang partai-partai yang rekam jejaknya kurang ramah dengan minoritas. Terhadap partai yang menurutnya ramah dengan minoritas, caleg-calegnyalah yang dipilihnya. Verlita sendiri mengaku mengalami bahwa selama ini belum ada pengaruh kerja nyata wakil rakyat tertentu yang terlihat di daerahnya (Dadap, Tangerang). “Saya ga mau pilih mereka, pak, ga ada kerjanya”.

Dalam wawancara, kami juga mendapatkan informasi indikasi kecurangan dalam pemilu. Verlita mengakui bahwa ada indikasi kampanye hitam di lingkungannya. Warga di komplek lingkungannya dibayar oleh partai tertentu. “Saya ga milih itu. Itu hak saya pak” tegasnya. “Tentang caleg pemilu sendiri saya diajari oleh orang tua saya pak. Ada juga beberapa guru seperti pak Rian dan bu Diana yang membantu mengajarkan pemahaman yang benar tentang pemilu”. Ini merupakan temuan yang menarik. Para guru, terlepas dari berbagai kesibukannya, ternyata ada yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi pihak sekolah, terutama guru-guru lainnya untuk semakin giat mengembangkan iklim yang sehat di sekolah. Sekolah dalam hal ini bukan sekedar tempat siswa mendapat nilai mata pelajaran, melainkan rumah kebijaksanaan (Bayt al-Ḥikmah).

Tugas guru selain sebagai pengajar adalah juga sebagai pendidik moral dan teladan. Pendidikan politik, secara khusus tentang pemilu dan segala rekam jejaknya, adalah materi potensial yang bisa diolah khusus sekolah demi mencerdaskan para siswa. Dengan memberikan pendidikan politik, sekolah dapat mengambil partisipasi dalam menyelamatkan bangsa. Ini adalah tanggung jawab bersama para guru yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh (tim media SMAXto2)