Jakarta, 29 Mei 2023 – Saya kebetulan mendapatkan sebuah kepercayaan untuk mendampingi (Baca: membimbing) anda semua (Kelas XII IPA). Ada satu pertanyaan etis yang selalu berkecamuk dalam pikiran: “Apa yang terjadi setelah kita bersama-sama? Apakah rasa kecewa yang akan terus menyerang atau sebuah perjalanan gembira yang layak dikenang? Pertanyaan tersebut mendedah saya setiap saat seakan-akan tanpa akhir.

Hari pertama, saya masuk di ruang kelas XII IPA, mendapatkan banyak kritikan, pesan dan celotehan yang tajam. Kalian ingat? Tentang ruang kelas yang berada sendiri, tepat pada sisi sudut sekolah, berpisah dari ruangan kelas yang lain dan seolah-olah seperti membawa perasaan pada pesimisme berat. Tapi akhirnya kalian merasa nyaman dengan kelas tersebut dan kini hanya bisa mengenang kisah-kisah yang pernah terjadi di dalamnya. Ada diskusi, adu analisis, argumentasi dan bahkan menjadi saksi bisu “jatuh cinta” dari beberapa orang. Semacam menjadi pembenar bahwa kadang kenyamanan akan muncul setelah mendamaikan pertentangan dan penolakan.

Saya selalu berusaha untuk meyakinkan kalian “Jadilah seperti yang kita hendaki, berani berpikir mandiri dan berani mengambil keputusan yang bijak.” Selama proses pebelajaran, saya tidak melihat kalian sebagai murid atau siswa. Dalam pikiran saya, pandangan seperti itu sangat feodal (Mohon maaf untuk Bapak/Ibu guru yang tidak nyaman dengan pernyataan saya).  Lalu, apa pandang saya? Anda semua adalah pribadi yang sama seperti saya, oleh karena itu, saya menyebutkan kalian “Teman-teman dan sahabat seperjalanan.” Sahabat seperjalanan selalu ada dan hidup bersama. Hal ini, bukan demi meniadakan jarak yang prinsipil bahwa guru berbeda dengan murid atau siswa, tetapi lebih pada sebuah tujuan untuk membuat proses pembelajaran dan bimbingan menjadi menggembirakan dan menyenangkan. Dalam bahasa lain, pendidikan yang membebaskan.

Dalam pendidikan yang membebaskan itu, bisa lahir kemampuan dan perasaan ingin tahu yang kemudian tertuju kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan kita mesti senantiasa diperbarui. Api perasaan ingin tahu mesti selalu dinyalakan. Perasaan tersebut menjadi bermanfaat kalau dipupuk oleh kebiasaan berliterasi yang baik. Ingat, membaca dan menulis adalah kunci peradaban.  Literasi yang kuat tidak hanya memajukan ilmu pengetahuan tetapi juga mampu memperdalam iman dan moralitas.

Saya berusaha untuk stabil dalam pusaran perubahan dan sekaligus berikhtiar untuk menjadi penyambung dua atau lebih bagian yang berlawanaan. Kemudian, selalu mengarahkan anda semua seperti sepasang roda pedati, senantiasa berputar pada poros positif dan negatif tak bertabrak; kemudian berbaur dalam persatuan yang tak terhingga. Saya hakul yakin, hal seperti ini, bisa membantu kita untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman untuk bertumbuh dan berkembang, berwawasan global dan visioner.

Catatan ini sangat singkat untuk merekam makna kebersamaan kita. Oleh karena itu, saya hendak mengakhirinya ini dengan sebuah kepercayaan dan perintah “Pergilah kalian, bertolak semakin ke dalam. Waktunya sudah tiba. Kita akan pergi hari ini”. Saya selalu menyebutkan 29 (Dua Puluh Sembilan) nama dalam setiap doa. Boleh juga, saya percaya ada 29 pribadi yang akan menyebutkan nama saya dalam doa.

Ada perumpamaan, sungai dan lautan. Di banjir musim gugur, sungai menuju ke muara dengan arus yang cepat dan congkak, tapi tak sampai ke Samudra yang seperti tak terbatas, ia sadar betapa kecil dirinya. Namun lautan itu juga demikian, seperti diakuinya kepada sungai: jika dilihat letaknya di dalam semesta ini, dirinya hanya secercah. Pergilah sebagaimana yang sudah kalian rencanakan sambil tetap rendah hati. Meskipun tak selamanya kita akan bersama, kita akan pergi pada jalan yang berbeda, tetapi saya yakin, kita akan hidup pada kehormatan masing-masing sebagai pribadi yang hebat. Sekolah sudah mendidik anda semua untuk menjadi pribadi yang cerdas dan bermartabat. Mari kita mulai mengendus kebijaksanaan di era kemajuan ilmu pengetahuan.  #fides,mores et intellectus# (Hendrik J./SMAXTOI)