Pengalaman membutuhkan syarat

 

Ada ungkapan “pengalaman adalah guru.” Tepatkah ungkapan ini? Rasanya tidak. Ada dua kemungkinan. Pertama, pengalaman bisa menjadi guru namun bisa juga tidak. Ia (baca: pengalaman) bisa berlalu begitu saja tanpa makna. Itulah sebabnya, ada orang atau bangsa yang relatif sudah tua, mempunyai banyak pengalaman, tetapi bisa jauh dari sikap dewasa apalagi bijak. Kedua, sebaliknya, ada orang atau bangsa yang relatif umurnya masih muda, mempunyai sedikit pengalaman, tetapi bisa lebih dewasa dan bijak. Apa syaratnya?

Satu-satunya yang menjadi syarat sebuah pengalaman bisa menjadi guru bagi seseorang atau bangsa adalah REFLEKSI. Dengan lain kata, pengalaman hanya bisa menjadi guru jika ia benar-benar direfleksikan. Pengalaman yang tidak direfleksikan tidak layak menjadi guru kehidupan. Maka para pendidik umumnya mengakui pentingnya refleksi dalam pembentukan diri (self-formation) dan pengembangan diri (self-transformation). Inilah yang disebut dengan pembelajaran reflektif (reflective learning). Pertanyaan selanjutnya adalah: apa itu refleksi?

Pengertian refleksi

Ada beberapa pengertian tentang refleksi:

  1. Menurut KBBI, refleksi semata-mata sebagai gerakan, pantulan atau kegiatan yang datang dari luar; gerakan otot yang terjadi karena suatu hal dari luar dan diluar kemauan atau kesadaran. Dalam konteks pembelajaran reflektif, pengertian ini sangat tidak cocok karena umumnya refleksi dipahami sebagai suatu proses mental yang terkait erat dengan kesadaran.
  2. Menurut John Dewey (pencetus gagasan mengenai refleksi dalam pendidikan, 1993), refleksi adalah pertimbangan yang aktif, gigih, dan berhati-hati terhadap setiap keyakinan atau bentuk pengetahuan yang disangka benar, dalam terang dasar-dasar yang mendukungnya dan kesimpulan lebih lanjut yang dibawanya. Bagi Dewey, refleksi mengandung dua unsur yang sangat terkait, yaitu: adanya kondisi kesangsian, keragu-raguan, kebingungan dan tindakan untuk mencari, memburu bahan yang bisa dipakai untuk mengatasi kesangsian itu.
  3. Ada pula yang mengatakan bahwa refleksi merupakan proses tri-matra yaitu: kesadaran-analitis kritis-perubahan. Kesadaran dimulai ketika seseorang menjadi sadar terhadap penalaman sebelumnya. Dari pengalaman itu, munculah analisis kristis atas pengalaman-pengalaman tersebut. Ketika dianalisis secara kritis, maka dicarilah jalan keluarnya. Pada tahap terakhir, terjadilah perubahan kognitif/emosional sehingga seseorang mempunyai sudut pandang yang baru. Sebagai hasil dari perubahan berdasarkan refleksi, seseorang bisa mengubah keyakinan yang selama ini dipegang kuat, sehingga pada akhirnya mengubah perilaku.

Dari ketiga pengertian di atas, pertanyaan berikutnya adalah apa itu pembelajaran reflektif tersebut? Sudahkah diterapkan dalam sistem pendidikan kita?

Pembelajaran reflektif

 

Umumnya, pembelajaran reflektif dipahami sebagai pembelajaran tingkat tinggi karena merujuk pada pembelajaran intensif yang disebut dengan pembelajaran mendalam (deep learning). Mendalam atau tidaknya proses belajar tersebut tergantung dari banyak faktor, diantaranya adalah motivasi personal, usaha yang dicari untuk mengatasi masalah, dan sasaran unjuk kerja dari si pembelajar.

Dalam kondisi yang bagaimanakah pembelajar (baca: kristoforian) menerapkan pendekatan mendalam (deep approach) dalam pembelajaran? Alat ukurnya adalah ketika: a) kristoforian tertarik pada tugas dan cepat menyelesaikan tugas tersebut; b) mencari makna yang melekat pada tugas; c) menjadikan tugas bersifat personal; d) melihat tugas secara holistik; e) menggunakan berbagai teori untuk menyelesaikan tugas tersebut dan membuat hipotesis sementara yang dapat diuji kebenarannya. Begitu sebaliknya, kita bisa mengukur kristoforian yang menggunakan pendekatan permukaan saja (surface approach) dalam pembelajaran.

Gambaran bahwa pembelajaran reflektif merupakan pembelajaran tingkat tinggi atau pembelajaran mendalam dapat dijelaskan melalui empat hierarki pembelajaran berikut ini:

  • Tindakan atau pembelajaran rutin: merujuk pada proses belajar dengan cara hafalan. Inilah tindakan terendah dari hierarki pembelajaran. Metode utamanya adalah menghafal. Tipe ini biasa disebut dengan pengetahuan sambil lalu.
  • Pengertian: pemahaman tanpa keterkaitan dengan pengalaman lain dan konteks belajar yang lain. Tipe ini disebut dengan tindakan menimbang-nimbang. Disini siswa berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa menilainya.
  • Refleksi: upaya untuk mempertanyakan pengalaman-pengalaman, mencari alternatif-alternatif. Pendekatan mendalam merupakan prasyarat menuju refleksi.
  • Refleksi kritis: merujuk pada bentuk refleksi yang lebih intens dan rutin. Ia mencakup tranformasi kerangka makna. Refleksi ini menjadikan siswa sadar akan dirinya. Disini siswa/pembelajar memeriksa secara kritis pendirian-pendirian dan asumsi-asumsi sebelumnya. Ketika si pembelajar sampai pada tahap ini maka ia bisa memperoleh transformasi diri, pengetahuan dan keyakinan-keyakinannya yang tanpa disadari telah mempengaruhi tindakannya setiap hari.

Ada dua kondisi kunci dalam lingkungan pembelajaran yang patut diperhatikan untuk tercapainya pembelajaran reflektif tersebut. Dua kunci itu adalah interaksi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Guru harus menciptakan suasana di kelas di mana siswa dapat mengekspresikan keraguan-keraguannya, menjelajah ketidakpastian dan menyadari adanya kontradiksi eksternal dan internal. Guru harus bisa mengizinkan siswa untuk mengungkapkan keraguan-keraguannya terhadap apa saja yang sedang ia pelajari. Dalam konteks ini, diskusi secara terbuka sangat dianjurkan. Patut diingat bahwa pemikiran reflektif bukanlah ciri yang dibawa manusia sejak lahir. Karena itu, guru memegang peranan yang sangat penting untuk mengembangkan kesadaran meta-kognitif para siswa.

Berkenaan interaksi antara siswa dengan siswa, berbagai pikiran, pengalaman, dan perasaan merupakan pra-syarat fundamental bagi berlangsungnya pembelajaran reflektif. Dengan kata lain, pembelajaran reflektif membutuhkan adanya kesediaan siswa untuk saling berbagi pengalaman, dukungan, dorongan, gagasan, perasaan serta kesediaan untuk menerima pandangan siswa lain.

Tentu, pembelajaran reflektif perlu diterapkan secara bertahap dengan melihat iklim pembelajaran di setiap satuan pendidikan masing-masing. Kami – SMP Santo Kristoforus I – telah memulainya dengan program refleksi yang diadakan setiap Jumat setelah pembelajaran. Semoga dengan pembiasaan refleksi ini, kita semua (guru dan siswa) bisa melihat kembali apa saja yang sudah dilakukan selama satu minggu berjalan. Merenung, mempertanyakan, serta mengambil langkah konkret untuk diperbaiki di minggu depannya adalah salah satu dari pembiasaan refleksi yang sudah kami lakukan. Dengan pembiasaan ini (mengambil waktu untuk berefleksi, setiap hari), kita bisa menjadi kristoforian-kristoforian yang mampu berpikir kritis. Dan, semoga pembelajaran kita lebih terarah pada mengajak kristoforian untuk berpikir kritis daripada semata-mata menghafal dan mengerjakan tugas yang sering memberatkan siswa juga guru. Akhir kata, marilah kita merefleksikan kata-kata Confusius berikut: Learning without reflection is waste; reflection without learning is dangerous.”